Jejak Langkah dan Sejarah Desa Karang
1. Asal-Usul Nama dan Pendirian Desa
Sejarah Desa Karang berakar pada awal abad ke-18, ketika wilayah ini masih berupa hutan lebat yang jarang dijamah. Menurut cerita turun-temurun, seorang tokoh bijaksana bernama Ki Ageng Tirtayasa melakukan perjalanan spiritual dan berhenti di sebuah lokasi yang memiliki banyak bebatuan besar (karang). Beliau melihat potensi kesuburan tanah di antara bebatuan tersebut dan memutuskan untuk membuka lahan (babat alas) bersama para pengikutnya.
Nama "Karang" diambil dari kondisi geografis tersebut, sebagai pengingat akan perjuangan awal mengubah lahan berbatu menjadi pemukiman yang subur dan makmur. Batu karang terbesar, yang dikenal sebagai "Watu Sila", hingga kini masih dihormati dan dianggap sebagai pancer atau pusat spiritual desa.
2. Era Kolonial dan Perjuangan Lokal
Memasuki era kolonialisme Belanda, Desa Karang yang kaya akan hasil bumi seperti kopi dan rempah-rempah menjadi incaran VOC. Sistem tanam paksa diberlakukan, membawa penderitaan bagi rakyat. Namun, semangat perlawanan tidak pernah padam. Dipimpin oleh seorang demang bernama Raden Wira Kusuma, rakyat Desa Karang melakukan perlawanan secara gerilya.
Perjuangan mereka bukanlah tentang mengangkat senjata secara terbuka, melainkan tentang sabotase kecil, menjaga lumbung padi dari sitaan, dan mempertahankan harga diri sebagai bangsa yang merdeka.
Kisah kepahlawanan ini menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas desa, mengajarkan nilai-nilai keberanian, kegigihan, dan cinta tanah air kepada generasi penerus.
3. Masa Pembangunan Pasca-Kemerdekaan
Setelah Indonesia merdeka, semangat gotong royong menjadi motor penggerak utama pembangunan di Desa Karang. Pada era 1960-an hingga 1980-an, masyarakat bahu-membahu membangun infrastruktur vital. Jembatan bambu digantikan dengan jembatan beton, jalan setapak diperkeras, dan saluran irigasi dibangun untuk mengairi sawah-sawah.
Pendidikan menjadi prioritas utama dengan didirikannya SDN Karang 1 pada tahun 1965, yang membuka akses pengetahuan bagi anak-anak desa. Di era ini, Desa Karang mulai bertransformasi dari desa agraris subsisten menjadi desa yang lebih maju dan terhubung dengan dunia luar, tanpa kehilangan jati diri dan semangat kebersamaannya.
4. Warisan Budaya dan Tradisi Turun-temurun
Sejarah panjang Desa Karang telah melahirkan warisan budaya yang kaya dan unik. Salah satu tradisi yang masih lestari hingga kini adalah upacara "Sedekah Bumi Watu Sila", yang diadakan setiap tahun sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas hasil panen yang melimpah.
Selain itu, kesenian lokal seperti Tari Topeng Ireng dan kerajinan anyaman bambu terus dijaga. Kesenian ini tidak hanya menjadi hiburan, tetapi juga media untuk menyampaikan nilai-nilai luhur dan cerita sejarah desa kepada generasi muda, memastikan bahwa akar budaya Desa Karang tetap kokoh di tengah arus modernisasi.
